Mengintip Aktivitas Dana Desa Joko Widodo Pengganti Blt

Foto: Fadhly Fauzi RachmanFoto: Fadhly Fauzi Rachman

Jakarta - Sudah hampir 3 tahun dana desa digulirkan. Masih banyak kalangan yang beranggapan kucuran puluhan triliun APBN ke pelosok desa-desa mubazir dalam upaya pengentasan kemiskinan. Pemberitaan miring lainnya, yakni ketidaksiapan aparatur desa mengelola dana yang begitu besar itu sehingga harus berurusan dengan hukum.

Namun sebagaimana ditegaskan Presiden Joko Widodo (Jokowi), aktivitas desa yang disebut-sebut sebagai pengganti Bantuan Langsung Tunai (BLT) dalam bentuk padat karya ini tetap jalan terus pantang mundur, bahkan tahun ini besarannya dinaikkan hampir dua kali lipatnya.

Kepada detikFinance, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Eko Putro Sandjojo, blak-blakan soal efektivitas dana desa. Dia mengakui, masih ada sejumlah pekerjaan rumah dalam penggunaan dana desa, utamanya dalam kasus pengawasan di lapangan.

Namun nyatanya, menteri yang berlatar belakang profesional ini membeberkan banyak dampak ekonomi yang dirasakan masyarakat di pedesaan. Banyak desa yang geliat ekonominya redup, secara perlahan memperlihatkan kemapanan secara ekonomi. Lewat dana desa pula, ada geliat gres yang ditandai dengan menguatnya peredaran uang di pelosok desa di tengah anggapan lesunya daya beli masyarakat.

Berikut petikan wawancara khusus detikFinance dengan Eko Putro Sandjojo ketika ditemui di kantor Kementerian Desa PDTT di Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (31/10/2017).

Bagaimana anda melihat kondisi ketika ini yang dianggap ada kelesuan daya beli?
Orang kini lebih ke lifestyle. Makara jikalau lihat mal-mal yang penjualan produk saja, enggak ada lifestyle-nya cenderung turun. Tapi mal-mal yang ada lifestyle-nya, ada fitnesnya, tempat makannya, ada kafenya, itu ramai.

Jadi orang, dan satu tahun sebelumnya kan sebelum libur sudah diberi tahu, jadi mereka sudah siap kurangi belanja yang enggak perlu. Memang kita sudah masuk middle income, kan kita PDB di atas US$ 3.000 untuk middle income. Middle income itu alasannya yakni stress level mereka tinggi, ketemu sama keluarga kurang, mereka benar-benar merencanakan travelling.

Berarti itu yang terjadi sekarang?
Itu yang terjadi. Buktinya pesawat terbang enggak turun, bandara enggak pernah sepi. Saya jikalau berangkat jam 4 pagi, jam 5 pagi, enggak usah weekend, hari biasa aja Soetta macet.

Nah kini bagaimana untuk meningkatkan daya beli ini, khususnya masyarakat pedesaan. Dana desa itu didesain bukan untuk membangun desa dan membangun ekonomi desa, tapi juga untuk memperlihatkan pekerjaan kepada masyarakat desa. Itu aturannya sudah ada.

Bagaimana dana desa bisa meningkatkan daya beli?
Sekarang kita masih lihat desa-desa, walaupun itu sebagian kecil ya, tapi alasannya yakni jumlahnya banyak jadi secara adikara banyak juga, jikalau 2% saja sudah 1.500 desa, dari 75.000 desa. Itu yang masih proyek-proyek dana desanya digunakan pakai kontraktor. Itu yang Presiden enggak mau.

Jadi proyek-proyek pekerjaan dana desa harus dilakukan secara swakelola. Saya sudah buat surat edarannya lagi untuk mengingatkan gubernur, bupati, dan kepala desa. Makara semua proyek dana desa harus dilakukan swakelola, dikerjakan oleh masyarakat desa itu dan memakai bahan-bahan yang dibeli dari toko-toko di desa-desa setempat, kecuali jikalau enggak ada. Makara jikalau beli semuanya di kota apa gunanya? Toko semennya di desa tutup dong.

Jadi pandangan gres dana desa itu benar-benar biar uangnya berputar sebanyak mungkin. Makara ini kita akan ada penindakan untuk desa-desa yang masih pakai kontraktor, yang pekerjaannya padat karya tapi pakai alat-alat berat atau materi bakunya beli dari kota.

Apakah aktivitas Padat Karya Cash Pengganti BLT ini dari Dana Desa?
Bapak Presiden bahkan maunya bukan itu saja, jikalau bisa 20% dari dana desa itu benar-benar digunakan untuk bayar upah pegawai yang kerja di proyek-proyek dana desa. Dan dibayarnya Presiden maunya itu harian, jadi masyarakat eksklusif terima duit, eksklusif bisa spending (belanja). Kalau enggak memungkinkan, paling usang mingguan, nah ini akan kita awasi.

Kalau 20% saja kan berarti akan ada Rp 12 triliun pendapatan masyarakat desa. Kalau dana desa Rp 60 triliun kan 20%-nya Rp 12 triliun. Rp 12 triliun itu paling enggak bisa membuat daya beli 5 kali lipatnya. Kalau masyarakat punya income itu bisa create daya beli 5 kali lipat. Berarti akan ada daya beli di desa tersebut sebanyak Rp 60 triliun. Kan menaikkan daya beli. Makara idenya itu.

Dana desa dianggap terlalu besar, banyak perangkat desa yang tidak siap?
Nah walaupun enggak siap, Bapak Presiden paksakan, bahwa jikalau kita tidak mulai, mereka tidak akan pernah siap. Kalau mereka tidak siap, kita tidak akan pernah mulai. Makara harus mulai duluan apapun risikonya. Tugas kita semua untuk melaksanakan pendampingan dan pengawasan.

Dana desa itu di 2015 dari Rp 20,86 triliun yang terserap cuma 82%. Itu sudah dibilang manis untuk aktivitas yang gres pertama. Tapi Bapak Presiden bukannya dana itu direview, dihentikan, atau bagaimana, tapi dia malah naikkan 2 kali lipat. Dari Rp 20,8 triliun jadi Rp 46 triliun di 2016.

Kami dipaksa untuk pengawasannya diperbaiki, pendampingannya diperbaiki. Ternyata Bapak Presiden benar. Ternyata masyarakat desa jikalau didampingi dan diawasi juga bisa belajar. Walaupun dinaikkan 2 kali lipat, penyerapannya naik dari 82% jadi 97,6%.

Di tingkat kabupaten lebih manis lagi. Kalau kita lihat di tingkat kabupaten, padahal syaratnya itu kan jikalau tahun berapa sama Menteri Keuangan dinaikkan jikalau desa-desa belum 60% atau 50% kabupaten belum dicairkan. Sekarang dinaikkan lagi jikalau belum 90% belum dicairkan. Artinya jikalau desa belum cairkan 90%, kabupaten belum bisa cairkan juga. Tapi nyatanya naik lagi tuh jadi 99% hampir 100%.

Dan yang lebih mengagetkan lagi, 3 tahun ini, kan sudah Rp 120 triliun, belum pernah dalam sejarah Indonesia desa membangun lebih dari 121.000 km jalan (dari dana desa).

Itu dari dana desa semua untuk berdiri jalan dan lainnya?
Dari dana desa semua. Ya satu desa memang kecil, cuma berdiri 1 kilometer (km), 2 km, tapi jikalau kali 75.000 desa ya segini. Kemudian ada 1.960 km jembatan, pasar, BUMDes. BUMDes itu setahun dari 2.000 naik ke 21.000. Makara banyak contoh-contoh yang sukses.

Tapi enggak semua sukses juga, tapi jangan kita cerca alhasil mereka jadi takut. Kita bantu, kenapa bisa gagal. Memang tamatan SD enggak punya pengalaman bisnis mau bagaimana, tapi semangatnya harus kita hargai. Memang jatuh bangun. Tapi jikalau kita cerca, wah BUMDes enggak jalan, lama-lama tutup semua yang manis juga ikutan tutup.

Ini aktivitas baru, gres dua tahun. Dan masih di 74.910 desa. Makara niscaya ada soal, 1% kasus saja ada 750 desa, 2% kasus sudah 1.500, cuma untuk bikin isu media penuh setiap hari. Yang 98% manis enggak keliatan.

Saya dikritik kenapa dana desa yang begitu besar kok penurunan kemiskinanannya sedikit. Tahu enggak tahun 2014 itu, dunia kan ada resesi, harga komoditi dunia jatuh. Misalnya dari US$ 200 tinggal US$ 30, CPO dari US$ 500 jadi tinggal di bawah itu. Karet hingga kini juga belum balik harganya. Batu bara banyak tambang yang tutup. Itu berapa triliun hilang. Kemiskinan bisa enggak naik saja itu prestasi yang luar biasa. Apalagi turun. Faktanya kemiskinan turun, kemiskinan di kota malah yang naik.

Turunnya kemiskinan derma dari aktivitas dana desa?
Salah satunya, tapi derma dari kabinet kerja Pak Jokowi lah, dari Kementerian Pertaniannya, kementerian PUPR-nya, Kemenkes-nya, dan 19 kementerian. Karena 19 kementerian forum ini mengucurkan dana aktivitas ke desa ini besarnya lebih dari Rp 500 triliun per tahun.

Nah tinggal bagaimana biar sinkron. Makanya Kementerian Desa ditugaskan untuk mengoordinasikan memilih locus. Nah ini juga enggak semua aktivitas dana desa itu ada dampaknya di ekonomi. Karena bikin penahan lahan longsor, bikin air bersih, bikin MCK, bikin sumur ada enggak dampaknya di ekonomi? Enggak ada. Bukan gara-gara desa dibikinin 80.000 MCK, ekonominya naik, apa urusannya. Cuma, kualitas hidupnya naik. Mereka itu perlu kualitas hidup yang baik.

Jadi jikalau orang yang kritik saya, ini jawabannya. Kami bisa enggak naikkan kemiskinan saja itu sudah bagus, plus kualitas hidup desa sudah naik. Saya punya sasaran RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah). Saya kan cuma ditargetkan hingga dengan 2019 mengangkat 5.000 desa tertinggal jadi berkembang, 2.000 desa berkembnag menjadi maju.

UGM mengadakan survei, kini saya minta diverifikasi sama BPS (Badan Pusat Statistik), 9.000 desa tertinggal sudah menjadi berkembang. Makara sasaran saya sudah tercapai 2 kali lipat. Karena bisnis model kita benar. Yang desa berkembang jadi maju itu Itu lebih gampang.

Program unggulan untuk pengelolaan dana desa?
Pak Jokowi minta ke saya, Pak Menteri, aktivitas ini manis jangan dikurangi, tapi saya mau lebih manis lagi. Saya mau bikin satu bisnis model yang bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi di desa lebih dari sekarang. Nah saya bikin 4 aktivitas ini. Prukades (produk unggulan tempat pedesaan), embung desa, BUMDes, dan sarana olahraga desa.

Prukades itu ibarat apa?
Prukades itu kita membuat ekonomi kluster di desa-desa. Desa itu miskin kenapa sih? Gara-gara enggak punya pasar. Makara mereka tidak ada jaminan produksinya diserap atau untung, alhasil mereka risikonya menjadi tinggi, sehingga tidak punya kanal perbankan. Akhirnya mereka hidup dari tengkulak.

Sekarang jadi kuncinya bagaimana membawa pasar ke desa-desa. Pasar tuh apa? Kalau pertanian ya pemrosesannya lah, gudang, pasca panen, dan sebagainya. Produk lainnya kayak perikanan juga sama, pemrosesan. Di masa yang kemudian ribuan triliun dana untuk pertanian, untuk itu, kenapa enggak bisa sustain? Karena kita enggak pikirkan market.

Bisnis itu dimulai dari pasarnya. Dari pasar gres tarik turun. Kalau enggak ada marketnya, kita produksi, yang ada juga bangkrut. Banyak pengusaha yang gulung tikar alasannya yakni mereka idealisme hanya mikirin produk tanpa mikirin market.

Sekarang pertanyaannya kenapa market enggak mau masuk di desa? Karena desa-desa tersebut tidak ada skala produksi, alasannya yakni tidak fokus. Satu desa itu bisa nanam padi, naman jagung, bawang, singkong, produksinya kecil-kecil. Makara tidak hemat sarana pasca panen dibawa ke desa-desa tersebut.

Jadi caranya bagaimana kita membentuk skala ekonomi. Di negara demokrasi kan kita enggak bisa paksakan, eh satu desa hanya tanam jagung semua ya, enggak bisa. Karena di desa-desa yang fokus itu kaya desanya.

Kami enggak membuat aktivitas baru, kita menduplikasi yang sudah ada. Caranya pemerintah dengan aktivitas Prukades ini, Kementerian Desa mendudukan kementerian yang terkait dengan aktivitas di desa, dengan PUPR, Pertanian, BUMN, Kelautan,Perindustrian, daan lainnya, kemudian kita dudukan bank, dunia usaha, pemimpin daerah, untuk sama-sama memilih fokus wilayahnya masing-masing.

Contoh sukses pengelolaan dana desa dengan Prukades?
Contohnya Pandeglang tiga ahad yang kemudian dikunjungi Presiden kan. Satu tahun yang kemudian kita mulai jagung 50.000 hektar, kini produksinya sudah 40.000 hektar. Kalau 50.000 hektar jalan, jadi dalam aktivitas ini bupatinya tadi minta 100.000 hektar, tapi ini enggak gampang, alhasil Menteri Pertanian suggest untuk 50.000 hektar dulu.

Nah Menteri Pertanian memberi bibit, pupuk, traktor, gratis untuk 50.000 hektar itu. Makara masyarakat sanggup insentif kan. Karena semuanya gratis jadi masyarakat tanam jagung. Nah gara-gara ada jagung, dunia perjuangan juga saya ajak. Bank juga jadi berani kasih kredit usahanya ke sana alasannya yakni ada skala ekonominya.

Bank juga bisa berani kasih kredit petaninya untuk biaya hidup, alasannya yakni ada jaminan ada yang ambil. Satu-satunya risiko yakni peristiwa alam, hama atau banjir. Tapi hama atau banjir itu bisa diasuransikan di Jasindo (asuransi pertanian), dengan Rp 180.000 itu bisa cover (kerugian) hingga Rp 7 juta untuk satu hektar.

Dan pemerintah juga kasih subsidi petani cuma bayar Rp 30.000 saja, jadi kasih subsidi Rp 150.000. Itu sudah jalan. Makanya kemarin yang kena hama itu digantikan. Nah dampaknya, dari enggak produksi jagung kini memproduksi 50.000 hektar. Kalau rata-rata 5 ton saja (produksi per hektar), itu kan Pandeglang akan memproduksi 250.000 ton sekali panen. Tadinya almost nothing.

Nah dengan embungnya jadi, bisa 2 kali panen. Itu kan bisa memproduksi 500 ribu ton kan. Kalau rata-rata (harga jagung) Rp 3.000 per kg, Rp 1,5 triliun lah itu. PAD-nya cuma Rp 120 miliar. Makara 10 kali lipat lebih dari PAD-nya (Pendapatan Asli Daerah). Dan Rp 1,5 triliun itu diterima eksklusif oleh masyarakat dan uang itu beredar di Pandeglang. Itu akan membuat 5 kali daya beli. Akan ada Rp 7,5 triliun di Pandeglang.

Makanya di Pandeglang dari 320 desa, tahun kemudian sudah mengurangi desa tertinggalnya dari 154 jadi 54, saya yakin tahun ini atau pertengahan tahun depan sudah tidak ada lagi desa tertinggal di Pandeglang. Pokoknya siapapun yang ikut aktivitas ini, dalam waktu kurang tiga tahun, apapun keadaannya akan terjadi. Kecuali, kayak NTT yang enggak ada air, itu kita bingung. Tapi saya ada aktivitas gres itu. Nanti lah. Sekarang angkatan kita 131 juta, dalam waktu enngak hingga 10 tahun, angkatan kerja kita akan naik jadi 200 juta, itu bonus demografi. Separuh itu ada di desa.

Jumlah desa kita ada berapa Pak?
Ada 74.910 desa. Kalau dalam model saya kan ini pendapatan warganya lebih dari Rp 2 juta semua ya. Anggap saja lah pendapatan mereka rata-rata Rp 2 juta. 100 juta (angkatan kerja) kali Rp 2 juta pendapatan orang desa berapa tuh, Rp 200 triliun. Itu satu bulan, jikalau model ini jalan.

Rp 200 triliun itu orang spending di desa, diterima masyarakat desa akan membuat daya konsumsi, jikalau 5 kali lipat, itu Rp 1.000 triliun satu bulan daya beli di desa. Satu tahun kan Rp 12.000 triliun kan, itu sama dengan US$ 1 triliun kan, PDB. Makara desa akan punya PDB sama dengan Indonesia sekarang.

Yang kedua, setiap embung yang jadi pemerintah akan beri pompa dan bibit ikan gratis. Ikan itu sumber protein hewani yang paling murah. Tapi kenapa mahal alasannya yakni ikan itu praktis busuk, jadi biaya distribusinya yamg mahal alasannya yakni harus ada es. Nah dengan ada embung kan enggak perlu ada es. Yang ketiga ada ikan, air, kiri kanan sawah, bisa bikin pemancingan, homestay, mountain bike track, jadi tempaf pariwisata, tambah lagi pendapatannya.

Contohnya Desa Ponggok (Klaten). Itu desa cuma 200 hektar, penduduknya 12 ribu. Kepala desanya kreatif mengelola kolam renang air bau tanah zaman Belanda. Kolam renangnya dulu hanya menghasilkan Rp 10-10,5 juta per tahun, kemudian dibantu perbankan, kolam renangnya diberi macam-macam, diberi tv, atau properti lainnya, di sana jadi snorkeling sambil selfie. Itu laku.

Yang mengagetkan kita, tahun 2015 pendapatannya naik dari Rp 10-10,5 juta per tahun jadi Rp 10,3 miliar, dengan net profit Rp 3 miliar. Makara inilah kenapa BUMDes itu penting. Sekarang persoalannya tidak semua desa punya orang yang bisa untuk mengelola. Makanya saya minta Ibu Rini (Menteri BUMN) untuk membuat PT Mitra Bumdes Nusantara.

Yang keempat sarana olah raga desa, itu diperlukan setiap desa mengalokasikan Rp 50 juta untuk sarana olahraga. Mulai dari lapangan bola, atau futsal, atau voli, atau badminton, atau jikalau enggak ada lahannya, bisa tenis meja atau catur. Makara saya bikin liga desa, dengan adanya liga desa, ada event, banyak orang datang, jadi ekonomi akan naik.

Contohnya di Sumatera Barat di beberapa kabupaten saya bikin liga catur. Itu saya buat di warung-warung, jadi orang banyak yang datang, warung jadi laku. Modalnya kecil itu, apalagi jikalau bola atau futsal.

Tahun depan dana desa Rp 60 triliun, naiknya dari tahun ini berapa?
Sama Rp 60 triliun juga. Tapi waktu saya dipanggil bersama Menteri BUMN, Menteri Pertanian, Menteri PUPR, itu Pak Presiden minta kami untuk mengalokasikan triliunan dananya ke desa.

Jadi berapa dana yang akan mengucur ke desa?
Dana desanya tetap Rp 60 triliun, tapi aktivitas ke desanya lebih dari Rp 500 triliun.
Sumber detik.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel