Djan Faridz Cerita Soal Pengembang Tak Mau Bangun Rumah Sederhana
Jakarta - Program hunian berimbang yang dibuat Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) mandek. Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) Djan Faridz membeberkan beberapa alasan di balik mandeknya aktivitas tersebut.
Aturan hunian berimbang sudah diatur di dalam Peraturan Menteri Perumahan Rakyat (Permenpera) No.10/2012 yang telah mulai berlaku semenjak 7 Juni 2012. Intinya, para pengembang wajib membangun permukiman dengan komposisi 3:2:1 (tiga berbanding dua berbanding satu), yaitu tiga atau lebih rumah sederhana berbanding dua rumah menengah berbanding satu rumah mewah.
"Misalnya dari 1.000 rumah, 20% harus untuk MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah)," kata Djan ketika ditemui di JCC Senayan, Jakarta, Sabtu (16/08/2014).
Salah satu alasan yang paling mendasar adalah, duduk perkara penolakan dari masyarakat berpenghasilan tinggi kepada MBR tinggal di satu kawasan. Penolakan disebabkan karena gaya hidup yang berbeda antara MBR dengan yang berpenghasilan tinggi.
"Tetapi pengembang merasa jika warga berpenghasilan tinggi ini gaya hidup beda dengan MBR. Kalau berpenghasilan tinggi basuh baju hingga kering pakai mesin, jika MBR basuh baju di WC atau di kamar mandi dan lalu dijemur. Nah ini yang membuat tempat rumah mewah sedikit dirusak dengan jemuran padahal mereka (masyarakat berpenghasilan tinggi) membeli dengan biaya tinggi," bebernya.
"Lalu bak renang mereka pakai celana mahal, jika MBR hanya pakai kolor," imbuhnya.
Menurut Djan alasan ini dinilai tidak masuk akal. Indonesia harus mampu mencar ilmu dari Singapura, di mana di dalam satu tempat hunian bercampur aneka macam etnis dan kondisi ekonomi masyarakat bersangkutan.
"Contohnya di Singapura, untuk perataan entnis mereka (pemerintah) satukan di satu kawasan. Kaprikornus nanti dibagi ada berapa persen untuk etnis Melayu, etnis China, dan etnis India jadi ada hunian berimbang yang dibangun di sana," sebutnya.